WELCOME

selamat berkunjung di blog ini, semoga dengan bahan yang tersedia di laman blog ini dapat membantu anda

Selasa, 07 Desember 2010

Kak Seto


Milis DT - Bagi saya Kak Seto tak pernah berubah. Ya sosoknya, wajah dan senyumnya serta kegiatannya yang selalu dekat dengan dunia anak. Memang banyak tokoh pemerhati anak di Indonesia, tapi Kak Seto selalu mendapat empat tersendiri.

Saya tidak mengenal Kak Seto secara pribadi. Meski demikian, saya tak mungkin lupa pengalaman saya lebih kurang 27 tahun lalu. Saat itu, tahun 1978, saya baru duduk di kelas II SD Bhayangkari I Bandung. Saya dan teman-teman Binavokalia asuhan Pak Isnendro datang dari Bandung ke stasiun TVRI menghadiri undangan Aneka Ria Anak-Anak.

Sejak dari Bandung saya sudah kesal dan sedih. Persoalannya sederhana. Kami semua memakai bando berpita di atas kepala, namun bando saya lebih mirip tali panjang. Pitanya nyaris tak kelihatan. Saya tak tahu mengapa begitu, tapi itu membuat saya jadi berbeda dengan anak lainnya. Saya merasa saya dianaktirikan dalam grup tersebut, meski sebenarnya tidak demikian. Kebetulan saja, saya satu-satunya yang tidak kebagian pita besar. Tapi ya begitulah perasaan saya, seorang anak kelas II SD.

Ketika acara saya berusaha agar bisa duduk dekat dengan Kak Seto dan Kak Heny Purwonegoro. Apa daya? Tubuh kurus kecil saya kalah melawan teman-teman lain yang gemuk, tinggi dan sudah kelas empat ke atas. Akhirnya saya cuma kebagian berdiri di pojok belakang. Padahal saya ingin sekali bertemu dengan mereka! Saya bahkan harus berjinjit untuk meyakinkan bahwa wajah saya benar-benar bisa masuk kotak televisi!

Dalam acara tersebut saya dan teman-teman menyanyikan 3 lagu, diselingi tarian dari sanggar lain.

Tanpa saya duga sebelumnya, entah mengapa, Kak Henny dan Kak Seto memanggil saya ke tengah, dekat mereka.

Saya terperangah. Apa yang terjadi?

"Adik, sini! Namanya siapa? Tanya Kak Seto.

"Helvy," kata saya.

"Helvy, kamu menyanyi sendiri ya!" kata Kak Henny.

Kak Seto mengangguk sambil tersenyum khas.

Saya tergeragap. Tidak mungkin, pikir saya, si anak kecil umur 8 tahun. Apa saya mau mengacaukan semua acara? Tidak ada saya menyanyi sendiri di jadwal! Adanya ramai-ramai! Mungkin karena suara saya memang "STD" (mengutip Meutia Kasim untuk kata "standar").

Saya menggeleng.

"Mengapa? Kamu tetap boleh menyanyi sendiri," ujar Kak Seto.

"Saya takut dimarahi sutradaranya," kata saya sekenanya.

Kak Seto dan Kak Henny tertawa.

"Tidak, kan kami yang meminta," kata Kak Henny.

Saya menggeleng kuat-kuat. Bagaimana kalau makin banyak orang yang melihat bando jelek yang saya pakai?

Kak Seto membelai kepala saya dan berkata. "Baik, kalau kamu tidak mau tak apa. Tapi banyak tersenyum ya."

Saya mencoba tersenyum.

"Kamu manis pakai bando itu. Apalagi kalau sambil senyum ya,dik " tambah Kak Seto.

Saya sungguh tidak tahu apakah mereka memperhatikan pita yang tidak mengembang di bando saya, atau wajah saya yang menyiratkan kesedihan karena berdiri di pojok. Yang jelas sepanjang acara kemudian saya jadi banyak tersenyum dan tak mengingat bando saya lagi. Saya jadi sangat percaya diri. Soalnya saya mendapat sapa istimewa dari Kak Henny dan Kak Seto yang saya kagumi itu!

Sampai sekarang apa yang dilakukan mereka sangat mengesankan saya. Saya, anak kecil dengan bando jelek --yang pegal berdiri di pojok dan takut wajahnya tak bisa masuk kotak televisi itu--- merasa sangat dihargai saat itu.

Saya sempat bertemu Kak Seto beberapa kali lagi. Yang pertama waktu Kak Seto menyerahkan piala Juara I Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI, tahun 2004, di TIM, untuk anak saya Faiz. Yang kedua, saat saya mengantar Faiz mengikuti acara Who Wants to be A Presiden di TPI, di mana Kak Seto menjadi salah satu panelis. Seperti biasa Kak Seto tak pernah lepas tersenyum dan selalu menyapa.

Dan kemarin, tanggal 3 Februari, di istana negara, saya berkesempatan bertemu kembali dengan Kak Seto dalam acara Gerakan Nasional Saling Berkirim Surat untuk Anak Aceh dan Nias. Saya hadir sebagai pembimbing FLP Kids, kelompok penulis anak yang diundang oleh Komnas Anak. Saya hadir sebagai Bunda Abdurahman Faiz, anak saya yang langsung mendapat undangan dari Komnas anak yang dipimpin Kak Seto.

Saat semua undangan termasuk saya saling bersalaman dengan Bapak Presiden dan Kak Seto, saya menyapanya dengan berkata, "Terimakasih undangannya, Kak Seto. Saya ibu Abdurahman Faiz."

Kak Seto tersenyum dan manggut-manggut dengan wajah yang telah saya akrabi lebih dari 27 tahun lalu. "Terimakasih juga, bu," tuturnya.

Sungguh, Kak Seto secara konsisten telah melakukan begitu banyak hal buat anak-anak Indonesia. Perjuangannya bahkan tergurat tulus dalam wajahnya yang tak pernah tampak letih dan awet itu. Ia tersenyum, ia menitikkan airmata bersama jutaan anak-anak Indonesia.

Saya bukan orang yang mengenal Kak Seto secara pribadi, tapi hari ini saya ingin mengucapkan sesuatu: Terimakasih Kak Seto. Terimakasih karena kau telah membawa anak-anak Indonesia dalam hatimu sampai begitu jauh. Terimakasih karena kau selalu peduli pada senyum, pada tangisan, pada semua yang mereka hadapi, apa pun itu...

Dari luar kamar, sayup-sayup suara anak saya Faiz terdengar ingin tahu. "Bunda, memangnya waktu Bunda sebesar aku, Kak Seto sudah ada? Dia kan masih muda, Bunda...."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar