WELCOME

selamat berkunjung di blog ini, semoga dengan bahan yang tersedia di laman blog ini dapat membantu anda

Selasa, 07 Desember 2010

Kabar Buat Maria


Hampir setiap hari lelaki buta dan anaknya yang berjualan es mambo itu melewati rumah keluarga Maria. Si anak yang baru berusia sekitar tujuh tahun itu, menuntun bapaknya melangkah tertatih-tatih sambil berteriak, “Es! Es mambo! Es-nya, eeeesss!!”

Biasanya tak lama kemudian, dengan langkah tergopoh-gopoh Maria akan keluar dan memanggil mereka. Maria akan membeli paling tidak sepuluh es mambo. Mengajak lelaki buta dan anaknya untuk mampir beristirahat sejenak di rumah kontrakan keluarganya yang sederhana, juga menyuguhi mereka makanan dan minuman. Maria sangat menaruh perhatian pada mereka, seperti juga dengan segala kesederhanaan, Maria memperhatikan siapa pun yang kekurangan dan papa di sekitarnya.

“Saya akan menyekolahkan anak Bapak …, boleh?” tanya Maria suatu hari.

Lelaki buta itu mengangguk-angguk. Anaknya meloncat-loncat gembira.

“Biar nanti saya yang mengurus semuanya. Apakah di tempat Bapak ada SD Negeri yang bagus?”

“Ada,” kata Bapak itu. “Tetapi…, saya tak mau menyusahkan Ibu. Biar nanti istri saya saja yang mengurus. Kebetulan istri saya berjualan es di depan sekolahan dekat rumah….”

Maria berpikir sejenak. “Saya tak keberatan untuk mendaftarkan….”

“Tapi, bu…, bila istri saya yang mendaftarkan, lebih baik, karena para guru sudah mengenal istri saya….

Maria tersenyum. Tak lama ia masuk ke dalam kamar, dan keluar dengan sebuah amplop di tangan. “Mudah-mudahan uang ini cukup untuk mendaftar, membeli seragam dan perlengkapan sekolah. Datanglah tiap awal bulan. Saya akan memberikan uang bayaran sekolah pada Bapak.”

Begitulah. Selama beberapa waktu, secara teratur lelaki buta dan anaknya datang mengambil uang sumbangan dari Maria. Sementara Maria terus memberi pengertian pada tiga anaknya yang juga baru usia SD, untuk mau hidup lebih sederhana lagi, mengingat sebagian jatah belanja, Maria berikan pada mereka.

Enam bulan berlalu, sampai tiba-tiba datang si anak dengan seorang perempuan ke rumah Maria. Perempuan itu mengaku sebagai istri dari lelaki buta itu. Ia tampak murung sekali, lalu tangisnya tumpah saat bertemu Maria. Juga tangis anak lelaki buta itu.

“Suami saya kecelakaan! Ia sudah meninggal…, bu!!

Maria terpaku beberapa saat. “Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun,” ujar Maria pelan. “Apakah sudah dikubur?” Air bening mengalir dari kedua pipi wanita yang baik hati ini.

“Belum, bu. Mayatnya masih di rumah sakit. Saya tidak punya uang untuk mengambilnya. Saya…juga nggak punya uang untuk membeli kafan, apalagi menguburkannya…, saya pusing, bu!” kata perempuan itu miris.

Maria mengusap airmatanya, menepuk-nepuk bahu perempuan itu dan mencoba meneguhkannya. “Saya akan bantu kamu. Ayo kita ke rumah sakit!”

“Tidak usah, bu. Ibu tidak usah ke sana. Mayatnya hancur, bu! Hampir tak bisa dikenali! Saya saja tidak kuat melihatnya! Biar paman saya saja yang ngurusin!”Permpuan itu terus menangis. “Saya mengharapkan dibantu uang sama ibu…,” katanya pada akhirnya.

Airmata Maria bergulir lagi. Disebutnya nama Allah berkali-kali. “Kasihan kamu dan anak-anak. Tetapi tabah ya. Ini cobaan dari Allah. Kamu tak akan pernah tahu balasan dari ketabahanmu sampai suatu saat.” Maria membuka dompetnya. Lalu entah berapa banyak, Maria memberikan semua isinya dan istri lelaki buta itu berulangkali mengucapkan terimakasih. Lalu bersama anaknya tergesa pergi.

Maria sangat sedih. Tetapi sejak dulu ia memang selalu saja tak tega. Ia ingin ikut ke rumah sakit dan membantu penyelenggaraan jenazah, namun rasa ibanya yang terlalu besar membuatnya tak mampu.

Maria tak pernah tahu kebenaran itu, sampai sebulan kemudian. Tetangga sebelah rumahnya bercerita, “Sungguh, Maria! Demi Allah, saya melihat lelaki itu dan anaknya. Sudah tiga kali ini! Mereka berboncengan sepeda, jualan es. Tidak mungkin saya salah lihat!”

Maria cuma terdiam.

“Saya lihat lelaki itu selalu beserta anaknya. Mereka menipumu, Maria! Anak itu tidak disekolahkan!”

Maria masih terdiam.

“Lelaki itu belum mati! Ia juga tidak buta! Ia bisa melihat saya dan membonceng anaknya naik sepeda! Kasihan, kamu benar-benar ditipu! Maaf, kabar buruk ini harus saya sampaikan!”

Maria menghela napas. Senyum khas-nya kembali tampak. “Jadi dia belum meninggal? Berarti anaknya tidak menjadi anak yatim? Ternyata dia juga tidak buta. Artinya, ia bisa melakukan lebih banyak hal untuk keluarganya. Termasuk untuk menyekolahkan anaknya,” Maria manggut-manggut. “Saya pikir ini adalah kabar terbaik yang saya dengar hari ini!” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar